Rabu, 15 Juli 2009

Kiat meningkatkan keimanan

Bagian Pertama (1)
Umar bin Khaththab berwasiat: “Hasibuu qobla antuhaasabuu.” Hisablah dirimu sebelum dihisab oleh Allah SWT. Hitung-hitunglah dirimu sebelum kamu dihitung di akhirat kelak. Timbang-timbanglah amalmu sebelum amalmu itu ditimbang di yaumul mizan (hari penimbangan amal). Hari perhitungan di mana setiap amal sebesar atau sekecil apa pun akan mendapat balasan. “Barangsiapa mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, pasti dia akan melihat balasannya pula” (QS Az-Zalzalah: 7-8).

Nasihat Umar itu begitu mendalam, bukan saja bernada introspektif dan
otokritik, tapi juga proyektif. Muhasabah (introspektif dan otokritik) bisa membuat seseorang bersikap korektif. Sedangkan berpikir proyektif dapat membuat seseorang lebih bijak. Umar RA. menasihati agar kita berpikir proyektif. Bekal apa yang sudah kita persiapkan untuk hari perhitungan (yaumul hisab) kelak. Dan ternyata, berpikir proyektif merupakan salah satu tanda kecerdasan seseorang. Nabi SAW. bersabda: “Al-kayyisu man daana nafsahu wa ‘amila limaa ba’dal mauut”. Orang cerdas itu adalah mereka yang mampu mengendalikan hawa nafsu dan bekerja (beramal) untuk hari sesudah mati.
Tapi, umumnya kita enggan melakukan ketiga kegiatan itu. Malah kita lebih suka menghitung-hitung amal orang lain. Atau membicarakan keburukan-keburukan orang, dan melupakan keburukan-keburukan diri sendiri. Kata Rhoma Irama, semut di seberang lautan jelas kelihatan, tapi gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, ah… keterlaluan. Mengapa demikian? Karena saat ini kita hidup di zaman materialistik, di mana materi dijadikan tolok ukur kesuksesan seseorang. Sehingga pembicaraan sehari-hari pun tak jauh dari lingkup materi. Gaji, kendaraan, rumah, karir, kedudukan, dan lain-lain. Pikiran kita telah didominasi oleh materi. Sampai-sampai ke-khusyu-an shalat kita tercerabut oleh pikiran materialistik itu. Kapan kita memikirkan Islam? Kapan kita membicarakan nasib umat ini?
Untuk sampai kepada sikap introspektif dan otokritik, sekaligus proyektif dibutuhkan lingkungan yang agamis (bi`ah shalihah). Lingkungan seperti ini tentunya sulit kita temukan di tempat kerja, apalagi di jalan-jalan. Makanya, Fathi Yakan dan Syaikh Kholid Ahmad Ash Syantuh dalam bukunya 10 Muhasabah Harian memberikan resep muhasabah kepada kita agar hidup ke depan dapat diisi dengan aktifitas positif.
Pertama, qiyamullail. Menghidupkan malam dengan shalat tahajjud dan membaca Al-Qur`an. Sebagian kita, mungkin sering bangun malam. Tapi, bukan untuk shalat tahajjjud atau membaca Al-Qur`an, melainkan untuk menonton pertandingan sepakbola piala dunia atau pra piala dunia. Padahal Allah SWT. menegaskan bahwa qiyamullail merupakan madrasah ruhiyah. Pada saat itu shalat kita bisa lebih khusyu dan bacaan Al-Qur`an kita lebih berkesan. Ini ditegaskan sendiri oleh Allah: “Sesungguhnya bangun diwaktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’) dan bacaan di waktu malam itu lebih berkesan” (QS Al-Muzammil: 6).
Apakah anda menyempatkan diri untuk bangun malam meskipun hanya sebentar? Ataukah anda termasuk orang-orang yang tidur nyenyak lagi lalai? Bukankah rahmat dan ampunan Allah turun pada sepertiga akhir malam? Bukankah Dia telah berjanji melalui Nabi-Nya: “Tidak ada seorang hamba yang memohon ampun (pada saat itu) melainkan Aku mengampuninya, seorang hamba yang berdoa melainkan Aku menjawabnya, dan hamba yang meminta kepada-Ku melainkan Aku memberinya.”
Lalu, dimanakah anda malam itu? Apakah anda termasuk hamba-hamba yang disifati Allah dalam firman-Nya: “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya (mengerjakan shalat malam)” (QS As-Sajadah: 16). “Mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam dan diakhir-akhir malam (waktu sahur) mereka memohon ampun kepada Allah” (QS Adz-Dzariyat: 17-18). “Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya? Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS Az-Zummar: 9).
Berkaitan dengan ini, Rasulullah Saw. bersabda: “Hendaklah kamu selalu mengerjakan shalat malam, sebab shalat malam itu adalah kebiasaan orang-orang shalih sebelummu, yang dapat mendekatkan dirimu dengan Rabbmu, yang dapat menghapuskan kesalahan-kesalahanmu, dan benteng dari dosa serta menolak masuknya penyakit ke dalam badan” (HR Thabrani dari Salman Al-Farisi). (Bersambung)
——————–
Bagian Kedua (2)
Selain menghidupkan malam dengan qiyamullail dan tilawatul Qur`an, peningkatan keimanan dapat ditempuh dengan cara kedua, yaitu menunaikan shalat shubuh berjamaah dan tepat waktu.
Kita harus selalu menyadari bahwa Allah mempunyai malaikat-malaikat yang selalu mengikuti dan meneropong kita di waktu siang dan malam? Dan sesungguhnya mereka berkumpul pada waktu shalat fajar (shalat shubuh) dan shalat ashar. Malaikat-malaikat itu naik ke langit, lalu Allah bertanya kepada mereka, “Sedang melaksanakan apa hamba-hamba-Ku ketika kau tinggalkan mereka?” Malaikat menjawab, “Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat.”
Apakah anda selalu menunaikan shalat fajar tepat pada waktunya dengan berjamaah? Lalu anda termasuk orang-orang yang disinyalir oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya: “Barangsiapa yang shalat shubuh, maka ia berada dalam tanggungan Allah SWT., maka lihatlah hai anak Adam! Allah tidak akan meminta (kembali) darimu sedikitpun dari tanggungan Nya” (H.R. Imam Muslim).
Dalam hadits lain, Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang-orang munafiq adalah shalat isya’ dan shalat fajar. Kalau seandainya mereka mengetahui apa-apa yang ada di dalamnya, sungguh mereka akan mendatanginya meskipun harus dengan merangkak…” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Ketiga, membaca dan mentadaburkan Al-Qur`an. Sesungguhnya hati manusia itu membutuhkan siraman Al-Qur`an untuk memperoleh ketentraman dan ketenangan.
Orang-orang beriman itu mempunyai hati yang selalu hidup dan bernilai, berdenyut lagi bergetar. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah bergetarlah hati mereka” (QS Al-Anfal: 2).
Apakah kita selalu membiasakan membaca dan mentadabburkan Al-Qur`an setiap selesai shalat Shubuh? Dan apakah kita selalu mengingat Allah dalam keadaan sepi dengan rasa khusyu’ sambil meneteskan air mata? Ataukah kita termasuk orang-orang yang begitu saja dilalui oleh masa yang panjang, lalu hati kita menjadi keras seperti batu!
Tidakkah kita mendengar firman Allah? “Sesungguhnya Qur’anul fajr itu disaksikan (oleh malaikat)” (QS Al-Isra’: 78). Tidakkah kita mendengar pula sabda Rasulullah SAW.? “Sesungguhnya orang yang tidak ada di dalam rongganya sesuatu dari Al-Qur`an, maka ia laksana rumah yang runtuh” (HR Tirmidzi). Janganlah kita lupa membaca Al-Qur`an dan jadikanlah seolah-olah Al-Qur`an itu turun kepada kita yang pertama kali!
Keempat, menjauhi makanan dan minuman yang haram atau syubhat. Ketika sudah duduk dimeja hidangan, apakah kita tidak berfikir tentang manfaat makan? Makanan lezat yang disediakan Allah adalah untuk memberikan gizi kepada kita. Dengan makanan itu kita menjadi kuat dan bertenaga. Sehingga kita dapat beribadah dan beraktifitas. Tapi, sudahkah kita meneliti kembali dari mana manakan itu diperoleh? Halal atau haram?
Kelima, tekun bekerja karena Allah. Dalam surat At-Taubah ayat 105, Allah menyuruh kita untuk bekerja. Dan Rasulullah Saw. menyuruh kita untuk menekuni pekerjaan. Apa pun jenis pekerjaan itu, yang penting halal. Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai orang di antara kamu apabila ia mengerjakan sesuatu pekerjaan, lalu menekuninya.”
Dalam hadits lain, Nabi SAW. bersabda: “Tidaklah sama sekali orang itu makan makanan yang lebih baik daripada ia makan dari hasil tangannya sendiri, sesungguhnya Nabi Allah Daud As. tidak makan kecuali dari hasil tangannya (jerih payah) sendiri” (HR Bukhari).Setelah itu, apakah kita sudah mensucikan hasil kerja kita (harta benda) dengan menginfaqkan kepada fakir-miskin dan saudara saudara seakidah yang membutuhkan? Dan Apakah kita telah menunaikan zakat wajib? (Bersambung)
————–
Bagian Ketiga (3)
Untuk meningkatkan keimanan kita harus selalu merasa bersama Allah di mana pun kita berada. Oleh karena itu, poin keenam untuk meningkatkan keimanan adalah muraqabatullah (selalu merasa diawasi Allah). Di tengah-tengah masyarakat yang masih menganut pola hidup jahiliyah, iman kita ditantang. Sejak keluar rumah kita “dipaksa” untuk melihat barang-barang haram. satu di antaranya adalah aurat wanita.
Apakah ketika melihat barang haram itu, anda memalingkan dan menundukkan mata, segera ber-istighfar kepada Allah? Anda tahu benar bahwa pandangan pertama masih dimaafkan, tapi pandangan selanjutnya adalah laknat. Lagi pula memandang barang haram itu adalah panah racun di antara sekian panah racunnya iblis. Apakah ketika ada seorang wanita yang berkedudukan, cantik lagi molek memanggil-manggil anda untuk melakukan kemaksiatan semu, lalu secepatnya anda menolak seraya berkata: “Sesungguhnya saya takut kepada Allah.”
Ketika memangku sebuah jabatan, apakah anda menjalankan amanah itu dengan baik? Tidak melakukan KKN, dan lain-lain. Ketika berdagang, apakah anda menggunakan timbangan secara benar? Apakah anda sudah merasakan bahwa setiap tingkah laku anda tetap diawasi oleh Allah? Ataukah anda termasuk orang yang merasa diawasi, tapi tetap melanggar, sebab anda mengira umur anda masih panjang?
Ketujuh, memberi manfaat kepada orang lain (nafi’un lighairihi). Di antara kewajiban setiap muslim adalah berdakwah pada setiap tempat dan kesempatan. Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah memberikan hidayah kepada satu orang lantaran (dakwah) kamu, itu lebih baik dari pada dunia seisinya.”
Dalam hadits lain, beliau bersabda: “Sebaik-baiknya pemberian adalah kalimat haq yang kamu dengar kemudian kamu membawanya kepada saudaramu sesama muslim, lalu kamu mengajarkannya kepadanya.” (HR Thabrani).
Bahkan dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan Abu Hurairah dikatakan: “Barangsiapa berdakwah kepada petunjuk, maka ia mendapat pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang berdakwah kepada kesesatan, maka ia mendapatkan dosa seperti dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa mereka.”
Kedelapan, berjihad di jalan Allah. Takut menghadapi resiko hidup menjadikan anda memilih duduk daripada jihad fisabilillah. Takut kehilangan materi dapat memberatkan anda dan membuat anda absen dari medan dakwah. Anda harus memprioritaskan Islam di atas segala-galanya.
Rasulullah Saw. bersabda: “Ketahuilah sesungguhnya syurga berada di bawah naungan pedang” (HR Bukhari dan Muslim). (Habis)
Pernah diposting oleh Mustofa Hadiansyah <mustofa.h@satelindo.co.id>
Entri ini dituliskan pada 24/07/2007 pada 07:06 dan disimpan dalam Beribadah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar